Thursday, July 08, 2010

PERINGATAN ISRA’ MI’RAJ SEBAGAI BENTUK REFLEKSI, EVALUASI, DAN PROYEKSI

Pada saat ini kita memasuki minggu terakhir di bulan Rajab. Ada sebuah momen yang sering diperingati oleh jutaan umat Islam di akhir bulan mulia ini, yakni peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Peristiwa besar di mana Rasulullah SAW pada saat tersebut bertemu Allah secara face to face serta mendapatkan satu tugas mulia yaitu untuk mendirikan sholat.

Peristiwa ini tentu sangat bersejarah di mana kita sebagai umat Islam diwajibkan untuk tidak hanya melaksanakan tetapi juga mendirikan sehingga sholat sebagai tiang agama selalu dapat menjadi identitas seorang muslim.

Satu momen penting ini yang sampai sekarang masih dikerjakan perlu ada perhatian khusus bagi kalangan umat Islam, tidak hanya sekedar menerima, mengerjakan, selesai. Perlu kekritisan oleh seorang muslim sehingga ia tahu dari mana dan mau dikemanakan perintah tersebut serta untuk apa kita melaksanakannya. Meskipun para kiai dan ustad sudah menjelaskan -mungkin- sudah detail, tentu kita perlu memikirkannya karena kita sebagai manusia diciptakan memiliki cipta, rasa, dan karsa.

Penulis mengajak para pembaca untuk menjadikan momen bersejarah ini tidak hanya dengan pengajian-pengajian belaka, tetapi juga dengan sikap kritis yang menjadi acuan nantinya untuk ke depan. Tentunya peringatan Isra’ Mi’raj ini memiliki sejarah dan akan terus berkembang sampai akhir waktunya.

a. Sebagai Refleksi

Setiap memasuki bulan Rajab, umat Islam antusias memperingati perjalanan monumental Rasulullah dari Mekkah ke Masjid al-Aqsa di Palestina (isra`) dan naiknya beliau ke langit (mi’raj) dalam rangka menerima risalah shalat lima waktu yang dilaksanakan umat Islam saat ini.

Kesemarakan dalam memperingati Isra’ dan Mi’raj terserbut sepertinya melupakan kontroversi perihal bagaimana Nabi Muhammad melakukannya; apakah dengan jasad atau hanya ruhnya saja? Memang persoalan ini tidak banyak diungkap secara lugas dan jelas. Biasanya para penceramah hanya menyinggung persoalan apakah perjalanan dengan jasad atau ruh itu sambil lalu. Itupun biasanya hanya merupakan penegasan bahwa perjalanan itu dengan jasad. Dalam arti, Nabi Muhammad -ketika melakukan isra’ dan mi’raj- benar-benar melakukannya dengan jasad (badan), karena hanya dengan itu, kedua peristiwa tersebut mempunyai makna yang luar biasa bagi orang yang beriman. Berbeda dengan jika hanya dipahami dengan ruh saja di mana nilainya tidak lebih dari sebuah mimpi.

Di kalangan ulama tafsir sendiri terjadi silang pendapat perihal itu yang disebabkan perbedaan cara pandangan terhadap kata, bi `abdihi dalam surah al-Isra` ayat 1. Ulama yang mendukung perjalanan dengan jasad (badan) berpendapat bahwa kata `abd (hamba) tidak bisa ditafsirkan dengan lain selain dengan sesuatu yang terdiri dari badan dan ruh. Oleh sebab itu, bagi penganut faham ini, penafsiran kata ‘abd dengan menambah ruh secara tersirat di depannya, bertentangan dengan sifat i`jaz (sifat keluarbiasaan) yang ingin ditunjukkan Allah melalui momentum itu. Dan, menurutnya, jika perjalanan hanya dengan ruh saja, tentunya kafir Quraisy tidak melakukan penentangan yang luar biasa, karena bagi mereka hal itu merupakan suatu yang mustahil.

Sedangkan bagi golongan yang mengatakan dengan ruh saja (bi ruh ‘abdihi) tidak mungkin perjalanan itu dilakukan dengan jasad, karena ketidakmungkinan tadi. Dan mengenai anggapan pihak pertama yang mengatakan jika itu dilakukan dengan ruh akan mengurangi sifat i`jaz bukan suatu yang sangat mendasar, karena persoalan utamanya adalah iman kepada ajaran yang dibawa Nabi. Jadi persoalan utamanya adalah iman kepada apa yang dibawa Nabi bukan masalah bagaimana kedua momentum itu terlaksana. Sebab al-Quran tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai hal itu. Prof. Ahmad Baiquni, MSc., PhD (alm) sependapat dengan aliran kedua itu dan dalam hal ini sepertinya ia terinspirasi oleh buku Near-Dath Eexperience (Hidup Sesudah Mati) yang menceritakan perihal pengalaman orang-orang yang pernah mengalami mati suri.

Terlepas dari persoalan kontroversi perihal bagaimana Nabi ber-Isra’ dan ber-Mi`raj, yang jelas hal itu bukan merupakan persoalan yang sangat esensial, karena refleksi persoalan sesungguhnya dalam kedua momen besar itu adalah perintah untuk menjalankan shalat. Semestinya, setiap kali umat Islam merayakan kedua peristiwa besar itu, mengevaluasi apakah shalat-shalat sebelumnya telah memenuhi tuntutan Nabi Muhammad.

b. Sebagai Evaluasi

Pada masa sekarang, fenomena keagamaan memang semarak yang ditandai dengan antusiasme masyarakat dalam mengikuti acara-acara yang berkaitan dengan agama, mulai dari tahajud bersama, zikir bersama, dan lainnya. Hanya saja, pada saat fenomena keagamaan itu meningkat, ada fenomena lain yang tidak kalah semaraknya, seperti semaraknya perjudian dan bentuk-bentuk kemasiatan lainnya. Semestinya, ketika fenomena keagamaan tersebut menggeliat menurunkan fenomena kemaksiatan tersebut. Dan, sesuai dengan fakta bahwa Indonesia dihuni oleh umat Islam sebagai penduduk mayoritas, pelaku-pelaku kemaksiatan tersebut mayoritasnya sudah pasti orang Islam juga. Adakah fenomena itu sejalan dengan keyakinan masyarakat saat ini bahwa manusia berkualitas saleh maka setan penggodanyapun akan setara dengannya, sehingga manakala fenomena keagamaan meningkat tandingannyapun akan semakin meningkat juga.

Memperhatikan hal itu, apakah karena pengaruh sekularisme atau karena kedangkalan pemahaman agama, saat ini sepertinya sudah berkembang opini bahwa agama hanya berkaitan dengan ibadah (shalat, haji, zakat, puasa, dan lainnya) sedangkan di luar itu merupakan persoalan duniawi yang tidak ada kaitannya dengan agama. Opini tersebut jika tidak mendapatkan perhatian serius akan semakin memarjinalkan peran agama dalam lingkup rumah ibadah saja. Padahal, selaku umat Islam semestinya menghayati, firman Allah, “Sesungguhnya shalat (bisa) mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS, Al Ankabut [29]: 45). Akan tetapi, jika seseorang sudah rajin shalat, namun tidak bisa menghindarkan diri dari perbuatan keji dan mungkar, perlu dipertanyakan bagaimana ia melakukannya.

Dalam rangka memberikan pemahaman yang benar mengenai bagaimana shalat semestinya dilakukan oleh setiap muslim, ulama memberikan distingsi antara pengertian ada’ atau ta’diyah dan pengetian iqamah yang dalam bahasa Indonesia masing-masing berarti menunaikan dan mendirikan. Kenapa persoalan pemilihan kosa kata Arab tersebut menjadi perhatian ulama dalam rangka memberikan pemahaman yang benar, karena secara filosofis kedua kata tersebut mempunyai implikasi berbeda. Kata ada’ dan ta`diyah lebih banyak berorientasi kepada aspek formal saja, sedangkan iqamah selain menekankan pelaksanaan aspek formal yang benar, aspek isoteris dalam shalat mesti mendapatkan perhatian yang serius dari seorang mushalli agar shalat yang dilakukannya benar-benar memberikan pencerahan kepada pelakunya sehingga tujuan dari shalat sebagaimana disebut dalam surah Al Ankabut : 45 tersebut benar-benar bisa terwujud. Oleh sebab itu, berkaitan dengan pemenuhan kewajiban shalat di samping nas mereferensi penggunaan kata iqamah ulama juga menggunakan kosa kata serupa dalam penjelasan mereka agar umat Islam dalam melakukan rukun Islam ke-dua itu tidak semata-mata memenuhi kewajiban, tapi sebagai kebutuhan untuk pencerahan jiwa. Bukankah Allah telah berfirman, Hanya dengan berzikir hati menjadi tenang? Dan, shalat sebagai bentuk zikir tertinggi semestinya berdampak kepada hal itu. Dalam rangka menuju kepada maksud tersebut. Mahmud Muhammad Thaha, setelah mengutip hadis Nabi yang maksudnya bahwa shalat bisa mendatangkan ketenangan jiwa dan membuka mata hati pelakunya, mengatakan, Maknailah shalatmu!

Menurut Mahmud Muhammad Thaha, dalam kitabnya Risalah al-Shalah (Terjemahan LKIS: Shalat Perdamaian), shalat merupakan sebuah metode jika dilakukan secara berulang-berulang, akan dapat melihat ke dalam diri, bertemu dengan jiwa kita sendiri, hidup berdampingan dengannya, mengenali, dan mewujudkan perdamaian dengannya. Hal itu, karena kita hidup berdampingan dengan alam lahir tenggelam dalam angan-angan indera kita, terlena dengan itu semua sehingga melupakan hakekat yang terpusat di balik yang ditutupinya. Allah menjadikan alam lahir sebagai petunjuk bagi hakekat tersebut, bukan sebagai penggantinya. Oleh sebab itu, umat Islam wajib memperhatikan sarana itu, agar tetap terjaga guna mengingat Allah. Bukankah Nabi pernah bersabda, Manusia itu tidur, apabila mati, barulah mereka terjaga? Untuk menjaga manusia agar senantiasa terjaga dari lupa dan kesalahan adalah dengan mengingat Allah, dan shalat merupakan salah satu metode sekaligus yang utama untuk itu. Berkaitan dengan itu, menurutnya sangat penting bagi umat Islam untuk mencapai tingkatan shalat seorang muslim, bukan hanya sampai tingkatan shalat seorang mukmin. Apa perbedaan di antara shalat kedua golongan itu? Memperhatikan penjelasannya dalan bukunya, terlepas dari maksud khususnya yang diinginkannya dari pemberian istilah mukmin dan muslim, apa yang dimaksud dengan shalat seorang mukmin adalah orang-orang yang melakukan shalat sekedar memenuhi kewajiban semata, sedangkan yang dimaksud seorang muslim adalah orang-orang ketika mendirikan shalat memenuhi kriteria ihsan, yaitu mereka ketika beribadah seakan melihat Allah, meskipun ia tidak melihat-Nya, tapi yakin bahwa Allah melihat mereka. Dengan kata lain, dalam pandangan Mahmud Muhammad Thaha, shalat mukmin baru sampai taraf ada’ atau ta’diyah sedangkan shalat muslim adalah sudah sampai kepada taraf iqamah. Jenis shalat yang terakhir itulah -menurutnya- yang akan memberikan pencerahan kepada pelakunya seperti yang disebut dalam surah Al Ankabut : 45 tersebut.

Oleh sebab itu, kesemarakan peringatan Isra’-Mi’raj pada bulan Rajab ini, semestinya dijadikan evaluasi bagi setiap muslim dalam melaksanakan perintah shalat. Sehingga refleksi peringatan momen ini adalah Apakah shalat yang dilakukan itu berdampak kepada ketenangan jiwa dan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Jika hal itu tidak dilakukan, kesemarakan peringatan Isra’-Mi’raj hanya akan melahirkan budaya konsumtif dan menguntungkan sedikit peceramah saja. Sedangkan shalat sebagai media pencerahan jiwa diabaikan.

Dalam kesempatan kali ini marilah kita sama-sama memperingati peristiwa Isra’ dan Mi’raj dengan cara mengevaluasi ibadah kita terutama sholat kita.

1. “Sholat itu Mi’raj nya Orang Mu’min dan Muslim”

Nabi Muhammad sebagai Nabi telah disucikan semua jiwa dan raganya sebelum beliau di Isra’ Mi’raj kan bertemu Allah Swt. Dan beliau adalah seorang Ma’sum yang selalu menjauhkan dirinya dari Dosa, sangat Wajar beliau menjadi Kekasih Alloh sehingga ketika beliau bersedih ketika harus menghadapi takdir ditinggalkan orang orang yang dikasihinya yaitu Paman dan Isteri Beliau yang selama ini mensupport perjuangannya. Lalu bandingkan dengan kita yang setiap harinya, setiap jamnya, setiap menitnya, bahkan setiap detiknya selalu digelincirkan oleh dosa. Bisakah kita Mi’raj bertemu Allah melalui Sholat kita sementara Allah itu Maha Bersih dan Suci ?

2. “ Mi’raj itu tercapai lewat Khusyu’”

Qad aflahal mu’minuun, alladziina hum fii shalaatihim khasyi’uun.

Sungguh beruntung orang-orang beriman, yang di dalam shalatnya dilakukan dengan rasa khusyu’. (QS Al Mukminun [23]:1-2).

Bagaimana bisa mencapai Mi’raj bertemu Allah kalau kita tidak pernah merasakan khusyu’ dalam sholat kita? bahkan jujur kita sebagian besar dari kita mengerjakan sholat untuk menggurukan kewajiban kita, sebagian lagi terpaksa…Astaghfirulloh…

Innal munaafiqiiina yukhadi’uunallaaha wa huwa khaadi’uhum, idzaa qaamuu ilash shalaati qaamuu kusaalaa yuraauunan naasa wa la yadzkuruunallaaha illaa qaliilaa.

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah juga akan membalas atas tipuannya tersebut. Mereka itu apabila melaksanakan shalat dilakukan dengan perasaan malas, dan mereka tidak serius di dalam mengingat Allah kecuali hanya sedikit saja. (QS An Nisaa’ [4]:142)

3. Sudah berapa besar Usaha kita untuk mencapai Khusyu’ dalam Sholat ?

Sudahkah kita berusaha dengan keras dan mencari ilmu untuk mencapai khusyu’ dalam sholat kita? semua tercapainya tujuan itu dibarengi oleh kerja keras dan kemauan untuk mencapainya. Begitu juga tujuan sholat kita itu adalah khusyu’ menghadirkan perasaan berhadapan dengan Allah sang Pencipta.

Sebenarnya banyak cara jika kita mau salah satunya yaitu berguru kepada ‘alim ulama yang sudah teruji ilmu dan amalannya, tapi sebagian dari kita berpikiran gengsi atau malu. Dan celakanya lagi kita itu tidak tahu ilmu tapi tidak pernah mencari jalan ilmu itu sendiri. Bahkan seringkali mengejek orang-orang disekitar kita yang mencari jalan untuk khusyu’ Astaghfirulloh…

Marilah kita semua mulai detik ini menjaga sholat kita sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Alloh dan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang telah menjalankan Isra’ mi’raj.

c. Sebagai Proyeksi

Beberapa hal penting yang perlu kita cermati dalam memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj ini, diantaranya adalah bagaimana perhatian kita terhadap Islam sekecil apapun seperti tarikh Islam yang bisa dijadikan sebagai pedoman umat Islam. Sejarah yang luar biasa ini perlu dipertahankan. Tidak hanya itu, mempertahankan momen ini dilakukan dengan selalu mengingat, kemudian mengamalkan ibroh dari peringatan tersebut.

Umat Islam perlu lebih memperhatikan kandungan yang terdapat dalam perintah shalat lima waktu tersebut sehingga ke depan, shalat tidak hanya sebagai sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan tetapi juga sebagai bentuk kebutuhan kita terhadap Allah Swt. oleh karena itu, semakin banyak kita memperingati momentum ini maka seharusnya semakin baik pula kualitas shalat kita. Tepat waktu, berjamaah, khusyuk, dan lain sebagainya sebagaimana yang pernah disampaikan oleh para muballigh.

Oleh karena itu pula, identitas kita sebagai umat Islam tidak hanya sebatas KTP, namun direalisasikan dalam bentuk pengamalan ibadah utama yakni shalat, karena yang membedakan orang Islam dan bukan orang Islam adalah shalat. Dalam arti bahwa, orang Islam adalah orang yang mendirikan shalat. Sedangkan orang yang bukan Islam merekalah yang tidak mendirikan shalat. Wallahu A’lam.

(Disarikan dari beberapa sumber oleh Zidni Darissalam, Mahasiswa STAIN Pekalongan).

Read More......

Tuesday, May 04, 2010

Merindukan Pemimpin Berjiwa B.A.T.I.K.

PEMIRA: Pemilihan Umum Raya mahasiswa. Sebuah proses pemilihan kepala roda pemerintahan mahasiswa di sebuah perguruan tinggi termasuk STAIN Pekalongan. Karena dalam sebuah pemerintahan mahasiswa terdapat organisasi tinggi pelaksana pemerintahan mahasiswa yakni Dewan Eksekutif Mahasiswa. Perlu dalam pemilihan diberikan beberapa persyaratan yang hanya akan dipenuhi oleh segelintir orang yang dirasa mau, mampu, dan diinginkan oleh mahasiswa.


Bisakah Anda bayangkan bila kita hidup tanpa kepala? Atau hidup dengan kepala yang sakit? Seluruh badan akan terasa tidak karuan, makan tidak enak, tidur tidak enak pula. Maka kita perlu memilih kepala, karena kepala harus ada dalam setiap tubuh, dan harus sehat. Untuk apa kita memilih kepala yang namun ternyata tidak genah. Kepala harus tetap sehat, agar bisa berpikir tidak hanya untuk dirinya tetapi juga untuk anggota-anggota yang ada di bawahnya.
Saat ini kita sedang dalam masa-masa pemilihan pemimpin di kampus STAIN Pekalongan. Setelah sukses pelaksanaan pemilihan Ketua STAIN Pekalongan yang baru, tiba selanjutnya pemilihan para pemimpin-pemimpin muda yang akan membawa organisasi kemahasiswaan yang mereka pilih. Senat Mahasiswa (SEMA), Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Tarbiyah dan Syariah. Bahkan pemimpin Unit Kegiatan Mahasiswa mengiringi pemilihan umum raya mahasiswa. Inilah dinamika kampus yang perlu kita ikuti karena dalam hal itu semua terdapat banyak sekali experience yang akan sangat berguna nantinya ketika kita turun di masyarakat. Sebagaimana pepatah yang mengatakan “Pengalaman adalah guru yang terbaik”.
Calon-calon pemimpin muda telah dipersiapkan. Kita sebagai mahasiswa tidak mau merelakan pemerintahan ini dipegang oleh pihak-pihak yang memiliki visi-misi yang tidak sesuai dengan visi-misi kampus. Kita merindukan sosok Pekalonganese yang tidak jauh dari B.A.T.I.K. siapakah pemimpin yang kita rindukan tersebut? B.A.T.I.K (Berjuang, Agamis, Toleran, Ikhlas, Komunikatif) adalah 5 kunci dari puluhan kunci sukses seorang pemimpin terutama di kalangan mahasiswa.


BERJUANG

Pemimpin perlu memiliki sifat berjuang demi kemaslahatan mahasiswa. Kita ambil contoh, sebagai ketua DEMA, maka setidaknya ia memberikan perjuangannya untuk para organisasi-organisasi di bawahnya, misalnya UKM. Salah satu faktor keberhasilan UKM adalah hubungan baik antara UKM dengan DEMA. Maka perlu sekali DEMA menjadi mitra terbaik UKM sehingga kegiatan-kegiatan yang diterbitkan oleh UKM akan semakin berkualitas dan semakin banyak diminati. Bila hubungan di antara keduanya tidak sebagaimana mestinya, maka cukuplah sudah UKM akan sedikit peminat dan tentunya kegiatan kemahasiswaan akan hilang begitu saja.
Perjuangan yang dilakukan oleh pemimpin ini menjadi satu kunci yang tidak hanya diletakkan dalam hati, tetapi perlu diimplementasikan dalam tindakan yang nyata. Bentuknya pun berbeda sesuai dengan porsinya masing-masing. Alangkah indahnya bila pemimpin mau dan mampu berjuang, akan tumbuh semangat di hati para bawahannya sehingga organisasi yang dijalankan akan berjalan sesuai dengan yang diinginkan dan tentunya menuju kepada kualitas yang tidak kalah saing dengan kampus-kampus lain.


AGAMIS

Kampus ini adalah kampus yang dikatakan sebagai perguruan tinggi agama Islam, maka image yang ada di dalam masyarakat adalah setiap mahasiswa selalu berpedoman pada ajaran agama Islam dan juga akhlaknya tidak jauh dari akhlak Islam. Realita yang ada bisa Anda bayangkan sendiri. Namun, yang perlu ditekankan adalah konsistensi dalam beragama. Seratus persen mahasiswa STAIN Pekalongan berstatus beragama Islam. Oleh karena itu, tentunya dalam berorganisasi pun agama perlu dijadikan landasan kuat sehingga organisasi dapat dibawa ke arah yang lebih jelas.
Ketika seorang pemimpin yang konsisten terhadap agamanya, yakni Islam, maka kita yakin akan sangat baik citra setiap pemimpin tersebut dan dampaknya akan membawa kepada syiar Islam yakni dengan cara berorganisasi. Tidak hanya diri pribadi, tetapi organisasi yang dibawa akan menjadi baik di mata mahasiswa dan masyarakat dan tentunya nama kampus pun menjadi simbol utama di masyarakat.


TOLERAN

Basic yang dimiliki oleh para calon pemimpin adalah sama, yakni Islam. Namun biasanya memiliki ideologi masing-masing yang berbeda satu sama lain. Sebut saja langsung para calon pemimpin aktif dalam organisasi Islam misalnya NU, Muhammadiyah, dan lain sebagainya. Maka perlu sifat toleransi yang penuh kepada setiap para calon yang akan membawa organisasinya ke arah yang sesuai dengan basic kita bersama.
Meskipun berbeda, seharusnya perbedaan itu yang menjadi kunci utama dalam keberhasilan sebuah komunitas. Sebagaimana analogi yang disampaikan Maulana Habib Luthfy bin Yahya: "... kita akan menemukan kekaguman, ilmullah yang ada di dalam musik, di antara notnya itu hanya ada 7; do re mi fa sol la si do, do si la sol fa mi re do. Sedangkan oktafnya ada 7, suara miringnya 5, jadi ada 12. Yang memakai adalah di seluruh dunia, dan mengeluarkan lagu yang beragam. Ketika orang mendengarkan musik, mereka bisa menangis dan tertawa, bersedih dan bersuka ria”. Analogi ini merupakan sebuah pandangan yang sesuai dengan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam organisasi. Bilamana sifat toleran diaplikasikan, perbedaan-perbedaan bukan menjadi hambatan, melainkan sebagai pemicu keberhasilan sebuah organisasi. Oleh karena itu, pemimpin yang toleran akan menjadi teladan para mitranya sehingga ditiru yang nantinya tidak menimbulkan perpecahan hanya karena perbedaan.

IKHLAS

Sulit mendefinisikan kata ikhlas. Sulit pula mempraktekkannya. Namun sekilas, perlu dan penting setiap calon pemimpin memiliki sifat ikhlas membawa amanah ini untuk mahasiswa, masyarakat, dan mungkin bangsa dan negara.


KOMUNIKATIF

Setiap pemimpin sangat diperlukan memiliki sikap yang komunikatif. Baik kepada jajarannya, bawahannya, maupun mitranya. Sehingga terjalin komunikasi yang baik dan tidak ada kesalahpahaman yang mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan. bentuk komunikasi yang dimaksud sangat bermacam-macam, sebagai contoh konkret dalam hal berorganisasi, perlu dialog antar pimpinan kampus, pimpinan organisasi, dan para anggota-anggota di bawahnya. Duduk bersama menyelesaikan masalah tanpa bersusah payah teriak-teriak itu lebih diutamakan. Dengan dialog atau audiensi, masalah akan lebih efektif diselesaikan dan kemungkinan timbul anarkisme akan sangat kecil. Oleh karenanya, pemimpin lebih banyak berkomunikasi dengan pihak-pihak yang bersangkutan agar terjalin korelasi yang baik di antara mereka.
Lima kunci di atas adalah segelintir dari puluhan kunci untuk menggapai kesuksesan para pemimpin. Sebagai mahasiswa, kita rindukan dan sambut pemimpin-pemimpin baru kita di kampus tercinta kita, sehingga kita akan semakin nyaman beraktivitas dan dapat menuangkan ide-ide kita sebagaimana mestinya.

Pekalongan, 13 April 2010

Zidni Daris Salam
Ketua DEMA STAIN Pekalongan 2009-2010

Baca juga
Ternyata Perokok itu Lebih Baik

Read More......

Saturday, April 24, 2010

Ternyata Perokok itu Lebih Baik

Ada 3 orang pemuda yang suka bermalas-malasan. Sebut saja nama mereka A, B, dan C. Ketiganya memiliki kebiasaan buruk. A suka bermain wanita. B suka minum-minuman keras. C suka sekali merokok. Kebiasaan-kebiasaan itu sudah lama mereka jalani.
Pada suatu hari mereka sedang berjalan-jalan mengelilingi desa mereka. Saat berada di daerah yang sepi, mereka menemukan sebuah botol, lalu si A mengambilnya. Si B teringat cerita Aladin yang menemukan sebuah botol dan isinya jin yang bisa mengabulkan segala permintaan.
Tak berpikir lama, si B menyuruh si A untuk menggosok-gosok botol itu. Walhasil botol itu keluar asap dan muncullah sebuah mahluk besar, gundul, hitam, dan wajahnya agak seram.
Singkat cerita, setelah keluar dari botol itu, Sang Jin menawarkan masing-masing 1 pertanyaan kepada setiap pemuda tersebut, dan langsung akan mengabulkan permintaan mereka.
Spontan si A meminta wanita sebanyak-banyaknya, dari suku manapun, dari bangsa manapun, dari yang cantik sampai yang sangat bahenol dan sebagainya. Setelah itu ia minta untuk dimasukkan ke dalam gua dan ditutup rapat-rapat agar selama 10 tahun bisa bercinta dengan ribuan wanita dari segala penjuru dunia.
Kini giliran si B. Mudah ditebak, si B langsung minta minum-minuman keras yang kualitasnya mantap. Pun dari segala macam negara ia minta datangkan. Simpelnya, ia harus menikmati semua macam minuman keras dari manapun dan yang bagaimanapun, kalau perlu baru dicium saja sudah memabukkan. Tidak berbeda, ia minta untuk dimasukkan ke dalam gua selama 10 tahun agar bisa minum sepuasnya.
Tiba giliran si C sang perokok sejati. Ia pun tak mau ketinggalan untuk meminta apa kesukaannya selama ini. Rokok apapun dan dari mana pun. Ia minta sebanyak-banyaknya agar bisa menikmati rokok selama 10 tahun. Sama halnya si A dan B, si C minta dimasukkan ke dalam gua dan ditutup selama 1o tahun.
Hari berganti hahi
Bulan berganti bulan
Tahun berganti tahun
dan tak terasa sudah 10 tahun berlalu.
Sang Jin menepati janjinya, ia membukakan satu persatu gua-gua yang ia berikan kepada 3 pemuda tadi. Gua pertama dibuka, terlihat si A tergeletak lemas setelah 10 tahun bercinta dengan ribuan wanita dari segala penjuru. Sang Jin pun tersenyum sambil berkata dalam hati "Dasar manusia....."
Gua kedua dibuka, si B terlihat mabuk berat karena 10 tahun ia minum minuman keras dengan berbagai macam jenisnya. Sang Jin pun tersenyum kembali seraya berkata dalam hati "Benar, manusia itu rakus..."
Giliran gua ketiga dibuka, tiba-tiba Sang Jin kaget dan terheran-heran melihat si C. Bagaimana tidak, ketika Sang Jin melihat si A dan B lemas dan lemah karena nafsu mereka, ternyata malah si C menjadi lebih bugar, sehat, gemuk, kekar, dan luar biasa kuatnya, padahal ia diberi Rokok banyak sekali. Karena tidak kuat menahan rasa penasarannya, Sang Jin pun bertanya kepada si C: "Hai C, bagaimana engkau bisa menjadi sehat bugar seperti ini, padahal engkau aku beri banyak sekali rokok yang sebenarnya bisa membuatmu sakit?"
Dengan lantang dan agak sedikit marah, si C menjawab: "Dasar Jin Goblok! Engkau memberiku rokok banyak sekali tetapi engkau sangat bodoh tidak memberiku korek api!"...
Sang Jin tertawa: "HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA"


*Disarikan dari penjelasan Romo Habib Umar Muthohar RA.
By: Zidni Darissalam

Read More......

Saturday, April 17, 2010

Ummuka .... Abuuka ....

Tulisan ini dibuat ketika saya mendengarkan salah satu lagu dari pemusik Indonesia yang sudah terkenal. Lagu itu mensyairkan mengenai betapa mulianya ibu di dunia ini. Lagu itu juga menganjurkan untuk selalu taat kepada ibu, selalu mencintai ibu, selalu tidak membantah perintah ibu. Karena dengan dasar bahwa murka Tuhan itu ada dalam orang tua terutama ibu.

Dari lagu tersebut terkesan bahwa ibu itu memiliki kedudukan yang tinggi di hadapan manusia. Ibu sangat mulia dan derajatnya lebih tinggi dari ayah. Paradigma tersebut telah berkembang dan menyebar sejak dahulu hingga sekarang. Banyak sekali para mubalig yang selalu menyampaikan berbagai hal mengenai ini, misalnya mereka lebih banyak menerangkan tentang kelebihan ibu dan kedudukan tinggi atau derajat yang lebih tingginya dari bapak.

Saya cukup heran ketika kita dilahirkan tidak hanya oleh ibu saja, tetapi ayah pun ikut andil dalam terlahirnya kita di dunia. Namun masih ada bahkan banyak paradigma orang-orang yang menganggap bahwa ibu lebih tinggi derajatnya dari pada bapak.

Suatu ketika saya pernah diajak oleh teman untuk mengikuti sebuah peringatan maulid Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasalam. Di sana dihadiri oleh beberapa ulama dan habaib. Acara itu diisi dengan pembacaan maulid simtud duror, kemudian dilanjutkan dengan tahlil dan sambutan-sambutan. Acara intinya adalah mauidhoh khasanah oleh ulama masyhur di kota saya yaitu Maulana Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya.

Dalam mauidhohnya, Habib memberikan berbagai mengenai pentingnya peringatan maulid nabi. Salah satunya adalah agar para umat Islam lebih mencintai Nabinya yaitu Baginda Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasalam. Karena dengan mencintai Nabi, maka termasuk mencintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bila sudah mencintai Allah dan Nabi-Nya maka umat Islam akan menaati perintah-perintah Allah dan Nabi serta termasuk menjauhi larangan-larangan Allah dan Nabi Shollallahu Alaihi Wasalam. Dan salah satu perintah Allah dan Nabi adalah birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua). Perintah untuk birrul walidain sudah banyak sekali termaktub dalam Al-Qur’an dan Al Hadis.

Ada penjelasan yang menarik oleh Sang ulama tersebut tentang birrul walidain, khususnya mengenai kedudukan masing-masing dari orang tua kita. Jadi banyak sekali para mubalig sering menyampaikan bahwa ibu adalah orang tua kita yang lebih tinggi kedudukannya tiga kali lipat dari bapak. Ada dasar yang mereka gunakan, saya tidak begitu hafal hadisnya. Yang teringat adalahkalimat“Ummuka… Ummuka… Ummuka… Abuka…” (Ibumu… Ibumu… Ibumu… Bapakmu). Penjelasan yang sering disampaikan adalah ketika itu Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasalam ditanya oleh seorang sahabat tentang orang yang pantas untuk berbuat baik kepadanya dengan tiga kali. Dan Rasulullah pun menjawab ibumu hingga tiga kali untuk setiap kali pertanyaan yang sama. Kemudian pertanyaan yang sama untuk ke empat kalinya, Rasul Sholallahu Alaihi Wasalam menjawab bapakmu.

Dengan jawaban Rasulullah tersebut terkesan bahwa ibu memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada ayah tiga kali lipat. Padahal, orang tua kita adalah team yang selalu bersama-sama dalam suka dan duka mulai dari awal mereka bersatu hingga terlahirnya kita semua ini. Mereka memiliki peran masing-masing yang sudah menjadi kodrat mereka. Misalnya ayah yang dengan segala tenaga dan pikirannya selalu menjaga ibu, menafkahi, dan memberi perhatian sepenuhnya kepada sang ibu dan calon anak. Sedangkan ibu, dengan kodratnya yang harus mengandung calon anak, dengan susah payah harus selalu menjaga kondisi kandungan, sehingga anak yang diidam-idamkan akan terlahir dengan lancar dan sehat.

Tausiyah yang disampaikan oleh Sang ulama itu adalah mengajak untuk mengubah paradigm tersebut. Bahwa bapak dan ibu memiliki kedudukan yang sama, derajat yang sama, hak yang sama untuk selalu dibakti oleh anak-anaknya. Pesan beliau, Allah pun sebenarnya sudah memberikan kodenya bahwa laki-laki itu adalah pemimpin atas para wanita. Hal ini mengandung bahwa laki-laki sudah memiliki kedudukan yang tinggi di atas para wanita. Sebagai penjelas bahwa hadis yang telah disebutkan di atas merupakan sebagai penyeimbang bahwa ibu pun memiliki hak yang sama, kedudukan yang sama untuk selalu dibakti oleh anak-anaknya.

Bila melihat seperti itu maka cukup jelas dan paradigm bahwa bapak dan ibu memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah. Mereka pun memiliki hak yang sama untuk selalu dibakti oleh anak. Karena sesungguhnya manusia itu bila dilihat derajatnya maka bukan dari status atau jenis kelaminnya melainkan ketakwaannya kepada Allah Azza Wa Jalla.

Oleh karena itu kita sebagai seorang anak yang memiliki orang tua haruslah selalu taat kepada Allah, kepada Nabi Sholallahu Alaihi Wasalam, dan selalu birrul walidain, berbakti kepada kedua orang tua, menghormati orang tua tanpa harus membedakan kedudukan mereka, karena sesungguhnya mereka memiliki kedudukan yang sama dan hak yang sama untuk selalu dihormati dan dicintai.

Wallahu A’lam.

El Salam, 10 Juli 2009

Read More......

Friday, April 16, 2010

PUISI

Di suatu waktu, saya diajak oleh seorang teman baik saya untuk mengikuti on air di sebuah radio terkemuka di kota saya. Acaranya hanya berupa tanya jawab mengenai teater. Saat itu saya memang tidak mengetahui banyak mengenai teater. Namun teman saya adalah salah seorang ahli di bidang teater. Sehingga saya mengabulkan ajakannya tetapi dalam kapasitas sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa yang membawahi bidang-bidang kegiatan mahasiswa di kampus termasuk bidang teater.

Di sana kami membicarakan beberapa hal mengenai kesenian termasuk teater. Semenjak itu saya agak tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan teater dan seni. Saya sebagai ketua mahasiswa diberi beberapa pertanyaan tentang teater dan apa yang dilakukan untuk mahasiswa sehingga teater di kampus menjadi lebih maju. Setelah itu pun saya diminta untuk membacakan puisi.

Perasaan menjadi berbeda ketika saya membacakan puisi. Terakhir kali saya membaca puisi lima tahun yang lalu ketika mengisi puisi perjuangan pada upacara peringatan hari Kota Pekalongan 3 Oktober. Kali ini, saya membaca puisi salah seorang pendengar yang berisi tentang Cinta. Dan, itupun tidak ada persiapan sama sekali untuk membacanya. Yang saya rasakan adalah perasaan seperti senang yang susah untuk diungkapkan dengan kata-kata. Seakan-akan saya sangat bergembira, berbunga-bunga, senang, dan lain sebagainya. Sepertinya saya terlena dengan hal-hal indah di dunia yang fana ini.

Setelah saya pulang ke rumah, tetangga depan saya diberitakan sedang dalam sakaratul maut, dan saya diminta untuk membantu membacakan doa dan surat-surat Al-Qur’an. Saya pun datang dan melihat memang tetangga saya sedang naza’. Saya pun bergegas untuk mengambil air wudhu dan mengambil Al-Qur’an. Setelah itu langsung saya bacakan surat Ar Ra’d dan Nuh.

Selama saya membaca Al-Qur’an itu, tetangga saya selalu berteriak “Aku pak bali… aku pak bali… (Aku mau pulang… Aku mau pulang…)”. Terkadang mengucapkan Allah…Allah… namun setiap setelah membaca lafal Allah, beliau berteriak kembali. Saya cukup merinding melihat kejadian itu. Bagaimana tidak, betapa mungkin sakitnya saat dalam kondisi sakaratul maut.

Momen itu sungguh membuat saya kaget karena saya baru saja melakukan hal-hal yang bersifat keduniawian. Saya merasa terlena dengan hal keduniawian yang bersifat fana ini. Momen seperti itu pula yang membuat saya semakin berpikir bahwa sakaratul maut itu sangat menyakitkan bagi yang tidak siap. Seperti yang saya lihat, beliau memang mengatakan ingin segera dijemput, padahal belum waktunya. Sehingga hanya rasa sakit yang dideritanya. Sampai saya menulis ini pun beliau belum meninggal. Ketika manusia dihadapkan penyakit yang keras, kadang kala berputus asa dengan meminta untuk segera diambil nyawanya, mungkin karena tidak kuatnya menahan rasa sakitnya.

Hal ini sungguh perlu dihindari. Setiap manusia telah ditentukan berapa lama ia hidup. Juga kapan ia akan meninggalkan dunia yang fana. Dan sakit itu adalah termasuk kiamat kecil yang bila dirasakan oleh manusia adalah sebuah momen yang baik untuk memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa yang pernah dilakukan. Yang terpenting adalah tidak meminta untuk diambil nyawanya, karena itu termasuk mendikte ketentuan Allah. Juga, manusia tidak boleh berputus asa, baru diberi sakit sudah putus asa, meminta untuk mati. Ini sungguh bukan ajaran Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasallam.

Oleh karena itu, saya mengingatkan diri saya sendiri dan pembaca untuk selalu memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa kita. Kita hindari kata putus asa dan meminta mati, karena itu merupakan perbuatan tercela. Kita manfaatkan umur kita yang sangat singkat ini untuk mengabdi kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita dianjurkan untuk meminta umur yang panjang yang berkah dengan menggunakannya untuk hal-hal kebaikan terutama beribadah kepada Allah Azza Wa Jalla.

Wallahu A’lam,

El Salam, 8 Juli 2009

Read More......

JABATAN

Setiap manusia adalah penggembala. Penggembala dimaksud adalah pemimpin. Pemimpin minimal bagi dirinya sendiri. maka dari itu, setiap orang akan menanggung segala apa yang dilakukannya selama hidupnya. Setiap manusia harus mempertanggung jawabkan semua perbuatannya selama hidupnya.

Permasalahannya,setiap manusia kadang-kadang tidak menyadari bahwa dirinya adalah pemimpin. Manusia akan selalu mengikuti hawa nafsunya, apa saja. Nafsu untuk makan, minum, mendapatkan sesuatu, memperoleh jabatan, bahkan mendapatkan yang lebih dari apa yang sedang ia jabat.

Sebuah pengalaman memprihatinkan ketika Saya berada pada posisi penjabat sebuah kerajaan muda. Di situ terdapat kerajaan tua yang dipimpin oleh para orang-orang tua yang seharusnya menjadi teladan bagi para generasi kerajaan muda. Sebutlah saya adalah panglima pasukan muda, sedangkan Raja Darjo adalah panglima pasukan tua. Dan kami berada pada Negeri Porak Poranda.

Suatu ketika Saya hanya menjadi seorang rakyat kecil biasa, di kemudian hari di ajak untuk masuk dalam sekte-sekte kecil di bawah kerajaan muda. Dan selanjutnya pun saya menjadi seorang pemimpin pada salah satu sekte terebut. Inilah pertama kalinya saya mengetahui luar dalamnya sebuah kerajaan, baik itu kerajaan muda maupun kerajaan tua.

Setelah setahun saya memimpin sekte tersebut, diajaklah saya untuk memimpin kerajaan muda. Kerajaan yang menjadi incaran para pendekar-pendekar dari setiap sekte. Padahal saya tidak terlalu tertarik, namun sudah menjadi kewajiban saya ketika melihat kemunafikan yang sudah ada di depan mata dan kemaksiatan akan terjadi bila tahta kerajaan muda dipegang oleh pendekar-pendekar yang pernah mencoreng nama kerajaan muda.

Dalam pergulatan itu, rakyat banyak yang memilih saya dan mengamanahkan saya untuk memegang kekuasaan kerajaan muda. Saya menggandeng beberapa ahli yang terpercaya untuk mendampingi saya dalam tahta ini.

Saya berpikir ketika kerajaan muda haruslah berkiblat pada kerajaan tua yang notabene sudah memiliki pengalaman yang banyak dan ahli dalam bidangnya. Kerajaan tua yang selalu mengedepankan moral bagi para rakyatnya, transparansi, dan selalu menjalin komunikasi agar setiap apa yang dikerjakan tidak bertentangan dengan hukum yang ada.

Semua anggapan itu punah ketika mereka (para pemimpin kerajaan tua) mengucapkan permintaan upeti-upeti yang telah diberikan kepada kerajaan muda. Awalnya adalah kerajaan tua selalu memberikan beberapa upeti kepada kerajaan muda untuk menjalankan tahta kerajaannya. Namun, tak disangka ketika mereka dengan suara lantang meminta secuil upeti-upeti tersebut sebagai pemulus pekerjaan mereka.

Sungguh biadab. Mereka yang sudah diberi upeti setiap bulannya, masih meminta jatah upeti kerajaan muda. Biadabnya lagi, ketika permintaan upeti tersebut ditolak, mereka masih mencari celah agar mendapatkan secuil upeti dari sayembara yang selalu dibuat oleh kerajaan muda. Memang setiap tahunnya, kerajaan muda selalu membuat sebuah sayembara yang diikuti oleh rakyat-rakyat baru yang akan masuk ke dalam Negeri Porak Poranda ini. Nah disini, para pemuka kerajaan tua bersikukuh untuk ikut andil dalam sayembara ini. Dan dengan lantangnya mereka menyampaikan maksud mereka, tidak ada lagi selain mereka ingin mendapatkan secuil upeti dari sayembara ini.

Dari pengalaman tadi, saya mengambil pelajaran bahwa manusia memang di dunia ini tak selalu puas terhadap apa yang telah mereka dapatkan. Meskipun mereka telah mendapatkan rizki yang sudah halal, dan itupun didapatkan setiap bulannya, namun mereka kadang-kadang masih mencari recehan dari sesuatu yang bukan kawasan mereka.

Manusia seperti cukup banyak beraksi pada kawasan-kawasan yang sudah mapan. Bila dilihat secara cermat, maka mereka akan lebih hina dari orang-orang miskin yang mengais sesuatu di tempat yang kotor dan bisa jadi bukan milik orang miskin tersebut. Sungguh maklum bila orang-orang miskin itu mengais, mengambil, atau bahkan mencuri barang-barang milik orang lain, karena mereka tidak memiliki penghasilan, tidak memiliki pekerjaan, tidak memiliki lapangan usaha. Namun sungguh biadab bila orang kaya, sudah memiliki pekerjaan, berpenghasilan tetap, duduk di kursi jabatan yang terhormat, masih saja mencari uang receh hanya untuk memuluskan pekerjaannya, biasanya dalihnya adalah agar mereka semangat dalam melaksanakan tugas mereka. Lantas untuk apa gaji bulanan mereka? Tunjangan-tunjangan setiap tahunnya?

Sebagai manusia, selalu bersikap zuhud itu penting. Pun qonaah. Karena dengan kedua sifat itu, setiap manusia akan selalu merasa tenteram, tenang, dan bersemangat dalam menjalankan aktivitasnya. Bahkan meskipun tak diberi apapun, insya Allah bila hati selalu bersama Allah, maka semuanya akan berjalan dengan semestinya.

Wallahu A’lam,

El Salam, 24 Juni 2009

Read More......

CINTA 2

Cinta, sebuah kata yang sulit didefinisikan oleh setiap orang. Ada yang bilang, cinta adalah sebuah pengorbanan, cinta adalah sebuah perjuangan, bahkan ada yang cinta itu buta. Hal itu mereka dasari biasanya karena pengalaman mereka sendiri.

Cara-cara mereka dalam meraih cinta mereka juga sangat bervariasi, dari yang paling mudah hingga yang paling berkesan. lihat saja acara reality show di TV -penulis kurang mengetahui banyak tentang acara ini-, pemuda dan pemudi menjalin sebuah hubungan yang mereka anggap sangat menyenangkan. setelah mereka mengungkapkan apa yang mereka rasakan, dan salah satu dari mereka juga memiliki perasaan yang sama, mereka kemudian bagaikan pasangan yang "serasi" menurut mereka -mungkin menurut orang lain juga seperti itu-.

Nah, dalam hal percintaan memang -katanya- sangat menyenangkan, membuat jantung deg-degan, hati berdebar-debar dan sebagainya. Itulah mereka yang merasa memiliki pengalaman menarik dalam hal percintaan.

Perlu dipikirkan kembali, bahwa cinta kepada makhluk haruslah dibatasi. Mengapa demikian, sebab sebagaimana Sayed Ali RA, telah mengatakan kurang lebihnya bahwa "Cintailah seseorang itu biasa-biasa saja, tak perlu berlebihan, karena bisa jadi orang tersebut akan menjadi orang yang paling anda benci. Dan bencilah seseorang itu biasa-biasa saja, tak perlu berlebihan, karena bisa jadi orang tersebut akan menjadi orang yang paling anda cintai". Demikian konsep cinta yang ditawarkan Sayed Ali RA.

Bercermin dari konsep itu pula, maka sebagai mahluk hendaknya tidak memaksakan diri untuk mencintai seseorang yang tidak kita cintai, ataupun terlalu membenci kepada orang yang membenci. Sebagaimana tadi yang disampaikan Sayed Ali RA, orang yang terlalu berlebihan dalam mencintai atau membenci akan mendapatkan balasan sebaliknya. Sehingga berhati-hatilah dalam mencintai dan membenci sesuatu.

Di samping itu, ada satu makhluk Allah yang tak perlu menggunakan konsep itu. yaitu Sayiduna Muhammad Shollallahu Alaihi Wassalam. Beliau tak perlu menggunakan konsep itu, karena beliau adalah makhluk khusus. Karena demikian banyak umatnya yang mencintai Beliau, namun menambah semakin dekat hatinya kepada Tuhannya dan Beliau. Inikah cinta sejati?

Konsep cinta kepada Nabi SAW itu bukan apakah kita mencintai Beliau, namun apakah beliau ini mencintai kita? Ini adalah pertanyaan yang tak perlu dijawab. Semua orang telah mengetahui Nabi Muhammad Saw. Beliaulah yang sangat mencintai kita umatnya. Ingat ketika sesaat sebelum Beliau wafat, yang Beliau tanyakan adalah "Ummati,,,Ummati,,,Ummati,,,". Beliau prihatin dengan umatnya setelah Beliau meninggal. Apakah mereka akan bersama Beliau nanti? Itulah begitu cintanya Nabi kepada umatnya.

Dari situ, kita bisa meyakinkan bahwa Nabi telah mencintai kita. tapi siapakah kita? benarkah kita adalah umatnya? mengapa dengan seenaknya kita mengaku sebagai umatnya? seberapa besar cinta kita kepadanya?

Kalau kita mengaku ummatnya, maka tentunya kita selalu menghormatinya.

Wallahu A’lam Bisshowab

El Salam, 4 Juli 2009

Read More......

CINTA

Cinta, satu kata yang menyenangkan bila dirasakan, namun sulit untuk dijabarkan definisinya. Ada yang mengatakan cinta itu perjuangan, cinta itu pengorbanan, cinta itu ini dan itu. Definisi itu dilihat dari sudut pandang masing-masing dari pembuat statement itu.

Saya tidak ingin menjabarkan mengenai definisi apa itu cinta. Saya hanya ingin berbagi bagaimana rasanya hati memiliki rasa cinta. Suatu hari saya duduk sambil memutar tasbih di masjid. Saat itu adalah ketika saya baru menyelesaikan sholat Jum’at. Imam sholat di masjid itu adalah seorang ulama masyhur, arif billah, dan kharismatik di kota saya.

Sebuah kelaziman di kota saya ketika imam menyelesaikan sholat dan berjalan menuju keluar untuk kembali ke kediamannya dan para jamaah mencium tangannya sebagai rasa tawadhu kepada ulama. Inilah salah satu bentuk cinta yang diberikan kepada pewaris nabi.

Saat itu, saya turut antri bersama jamaah untuk ikut bermushofahah kepada ulama terebut. Dan, sebenarnya ulama tersebut adalah ulama yang saya kagumi karena ketawadhuaannya. Pada saat giliran berjabat tangan, tangan saya digandeng oleh ulama tersebut hingga keluar masjid tanpa menggunakan sandal.

Ada sebuah hal yang menarik bagi saya terutama ketika ulama itu menggandeng tangan saya. Saat itu, saya digandeng ulama hingga turun masjid dan berdiri di tempat yang panas, saya pun tidak menggunakan sandal saya karena tempat di mana saya menaruh sandal cukup jauh. Saya dan ulama tersebut berjalan dan menghampiri beberapa orang dan berbincang walaupun hanya beberapa menit saja.

Keanehan itu terjadi ketika ulama tersebut melepaskan tangan beliau, dan beliau menuju kendaraannya. Kaki saya merasa panas dan ingin segera pindah tempat. Namun saya berusaha untuk selalu tawadhu dengan tidak meninggalkan tempat sebelum ulama tersebut pergi. Dan setelah ulama itu pergi, saya merasa tidak kuat untuk berdiri tanpa memakai alas apapun.

Setelah saya sadari bahwa saya tidak merasa panas ketika berdiri bersama ulama itu dan tangan saya digandeng, saya merasa inilah bukti kecil dari sebuah cinta. Ketika semua orang memiliki rasa cinta terhadap seseorang, maka apapun penderitaan yang ia hadapi tidak akan menghalanginya untuk selalu mencintainya.

Itulah cinta kepada makhluk, yang dengan contoh yang sekecil itu, betapa dahsyatnya sesuatu yang ia dapatkan. Bagaimana dengan cinta kepada yang membuah mahluk? Yaitu sang Khalik. Sangat dahsyat. Maha dahsyat. Bila manusia mencintai Tuhannya, maka setiap kegundahan hati, keresahan hati, atau hal-hal yang membuat hati tidak pernah merasa tenteram, akan punah. Karena yang ada dalam hatinya adalah Allah. Allah. Allah.

Semua hal yang akan dikerjakan akan dikerjakan dengan senang hati, keikhlasan hati, hanya mengharap kepada-Nya. Dan, semuanya akan dimudahkan. Hasilnya akan memuaskan. Bila tidak mendapatkan apa yang diinginkan, akan selalu positif thinking kepada siapa saja termasuk kepada Allah. Maka cintailah Allah. Karena dengan cinta kepada Allah, semua yang dilihatnya adalah cantik dan indah.

Wallahu A’lam,

El Salam, 24 Juni 2009

Read More......

Thursday, April 15, 2010

AIR

Di keheningan malam yang sunyi, saya pergi ke kamar mandi. Ternyata air di bak mandi sudah hampir habis, dan terpaksa saya harus menimba air dari sumur ke bak mandi itu. Hal seperti itu sudah sering saya lakukan setiap hari bergantian dengan saudara saya.

Di malam itu cukup berbeda bagi saya. Saya menimba cukup banyak sehingga ada kesan tersendiri. Dengan senang hati saya menimba air yang ada di sumur kemudian saya pindahkan ke bak. Dan terpikir suatu hal yang cukup menarik bagi saya.

Air yang ada di sumur sangat banyak, dan yang ada di bak hanya seberapa saja sesuai dengan ukuran baknya masing-masing. Saya misalkan air yang ada di sumur itu adalah ilmu-ilmu Allah. Sedangkan air yang ada di bak adalah ilmu yang dimiliki manusia.

Setiap detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun manusia menimba ilmu yang berasal dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mereka selalu memenuhi otak mereka dengan ilmu-ilmu Allah yang tidak bisa menampung seluruhnya. Hanya sesuai dengan ukuran otak mereka, sedang ilmu Allah lebih banyak dan lebih luas. Namun, mengapa manusia merasa sombong dengan ilmu yang mereka dapatkan?

Inilah mengapa saya merasa heran dengan diri saya sendiri dan orang-orang yang merasa bangga dengan ilmu yang mereka dapatkan. Padahal kalau dipikir-pikir, ilmu mereka hanya sebatas ukuran bak mandi yang dibandingkan dengan isi air yang ada di sumur yang bila ditimba tidak akan semakin habis melainkan tetap ada.

Memang tidak semua orang bisa tawadhu dengan ilmu yang dimiliki. Kadang-kadang malah ilmu yang dimiliki membawanya semakin sombong dan menjauhi segala kebaikan. Misal saja ilmu yang dimiliki itu tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat atau untuk membohongi orang lain. Sungguh biadab orang yang seperti itu, orang yang menggunakan ilmunya untuk kejahatan.

Sesungguhnya manusia tidak pantas bila ia merasa takabur dengan apa yang ia miliki. Semua yang dimiliki manusia di dunia ini adalah amanah. Anak, istri, kekayaan, bahkan ilmu pun merupakan amanah yang harus dijaga dan dimanfaatkan untuk kebaikan. Karena semuanya itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

Sebagai manusia biasa, cukuplah bersyukur dengan apa yang telah diberikan termasuk ilmu yang dimiliki. Jauhkan diri dari sifat sombong, dan gunakan ilmu untuk kebaikan. Semoga secuil ilmu Allah yang diberikan kepada kita dibandingkan dengan ilmu Allah yang sebenarnya melebihi luasnya lautan dunia seisinya ditambah dengan langit bertingkat-tingkat, menjadi ladang amal ibadah bagi kita dan manfaat bagi manusia seluruhnya sebagaimana konsep rohmatan lil alamin.

Wallahu A’lam Bisshowab,

El Salam, 5 Juli 2009

Read More......