Friday, April 16, 2010

PUISI

Di suatu waktu, saya diajak oleh seorang teman baik saya untuk mengikuti on air di sebuah radio terkemuka di kota saya. Acaranya hanya berupa tanya jawab mengenai teater. Saat itu saya memang tidak mengetahui banyak mengenai teater. Namun teman saya adalah salah seorang ahli di bidang teater. Sehingga saya mengabulkan ajakannya tetapi dalam kapasitas sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa yang membawahi bidang-bidang kegiatan mahasiswa di kampus termasuk bidang teater.

Di sana kami membicarakan beberapa hal mengenai kesenian termasuk teater. Semenjak itu saya agak tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan teater dan seni. Saya sebagai ketua mahasiswa diberi beberapa pertanyaan tentang teater dan apa yang dilakukan untuk mahasiswa sehingga teater di kampus menjadi lebih maju. Setelah itu pun saya diminta untuk membacakan puisi.

Perasaan menjadi berbeda ketika saya membacakan puisi. Terakhir kali saya membaca puisi lima tahun yang lalu ketika mengisi puisi perjuangan pada upacara peringatan hari Kota Pekalongan 3 Oktober. Kali ini, saya membaca puisi salah seorang pendengar yang berisi tentang Cinta. Dan, itupun tidak ada persiapan sama sekali untuk membacanya. Yang saya rasakan adalah perasaan seperti senang yang susah untuk diungkapkan dengan kata-kata. Seakan-akan saya sangat bergembira, berbunga-bunga, senang, dan lain sebagainya. Sepertinya saya terlena dengan hal-hal indah di dunia yang fana ini.

Setelah saya pulang ke rumah, tetangga depan saya diberitakan sedang dalam sakaratul maut, dan saya diminta untuk membantu membacakan doa dan surat-surat Al-Qur’an. Saya pun datang dan melihat memang tetangga saya sedang naza’. Saya pun bergegas untuk mengambil air wudhu dan mengambil Al-Qur’an. Setelah itu langsung saya bacakan surat Ar Ra’d dan Nuh.

Selama saya membaca Al-Qur’an itu, tetangga saya selalu berteriak “Aku pak bali… aku pak bali… (Aku mau pulang… Aku mau pulang…)”. Terkadang mengucapkan Allah…Allah… namun setiap setelah membaca lafal Allah, beliau berteriak kembali. Saya cukup merinding melihat kejadian itu. Bagaimana tidak, betapa mungkin sakitnya saat dalam kondisi sakaratul maut.

Momen itu sungguh membuat saya kaget karena saya baru saja melakukan hal-hal yang bersifat keduniawian. Saya merasa terlena dengan hal keduniawian yang bersifat fana ini. Momen seperti itu pula yang membuat saya semakin berpikir bahwa sakaratul maut itu sangat menyakitkan bagi yang tidak siap. Seperti yang saya lihat, beliau memang mengatakan ingin segera dijemput, padahal belum waktunya. Sehingga hanya rasa sakit yang dideritanya. Sampai saya menulis ini pun beliau belum meninggal. Ketika manusia dihadapkan penyakit yang keras, kadang kala berputus asa dengan meminta untuk segera diambil nyawanya, mungkin karena tidak kuatnya menahan rasa sakitnya.

Hal ini sungguh perlu dihindari. Setiap manusia telah ditentukan berapa lama ia hidup. Juga kapan ia akan meninggalkan dunia yang fana. Dan sakit itu adalah termasuk kiamat kecil yang bila dirasakan oleh manusia adalah sebuah momen yang baik untuk memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa yang pernah dilakukan. Yang terpenting adalah tidak meminta untuk diambil nyawanya, karena itu termasuk mendikte ketentuan Allah. Juga, manusia tidak boleh berputus asa, baru diberi sakit sudah putus asa, meminta untuk mati. Ini sungguh bukan ajaran Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasallam.

Oleh karena itu, saya mengingatkan diri saya sendiri dan pembaca untuk selalu memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa kita. Kita hindari kata putus asa dan meminta mati, karena itu merupakan perbuatan tercela. Kita manfaatkan umur kita yang sangat singkat ini untuk mengabdi kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita dianjurkan untuk meminta umur yang panjang yang berkah dengan menggunakannya untuk hal-hal kebaikan terutama beribadah kepada Allah Azza Wa Jalla.

Wallahu A’lam,

El Salam, 8 Juli 2009

0 comments:

Post a Comment