Thursday, July 08, 2010

PERINGATAN ISRA’ MI’RAJ SEBAGAI BENTUK REFLEKSI, EVALUASI, DAN PROYEKSI

Pada saat ini kita memasuki minggu terakhir di bulan Rajab. Ada sebuah momen yang sering diperingati oleh jutaan umat Islam di akhir bulan mulia ini, yakni peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Peristiwa besar di mana Rasulullah SAW pada saat tersebut bertemu Allah secara face to face serta mendapatkan satu tugas mulia yaitu untuk mendirikan sholat.

Peristiwa ini tentu sangat bersejarah di mana kita sebagai umat Islam diwajibkan untuk tidak hanya melaksanakan tetapi juga mendirikan sehingga sholat sebagai tiang agama selalu dapat menjadi identitas seorang muslim.

Satu momen penting ini yang sampai sekarang masih dikerjakan perlu ada perhatian khusus bagi kalangan umat Islam, tidak hanya sekedar menerima, mengerjakan, selesai. Perlu kekritisan oleh seorang muslim sehingga ia tahu dari mana dan mau dikemanakan perintah tersebut serta untuk apa kita melaksanakannya. Meskipun para kiai dan ustad sudah menjelaskan -mungkin- sudah detail, tentu kita perlu memikirkannya karena kita sebagai manusia diciptakan memiliki cipta, rasa, dan karsa.

Penulis mengajak para pembaca untuk menjadikan momen bersejarah ini tidak hanya dengan pengajian-pengajian belaka, tetapi juga dengan sikap kritis yang menjadi acuan nantinya untuk ke depan. Tentunya peringatan Isra’ Mi’raj ini memiliki sejarah dan akan terus berkembang sampai akhir waktunya.

a. Sebagai Refleksi

Setiap memasuki bulan Rajab, umat Islam antusias memperingati perjalanan monumental Rasulullah dari Mekkah ke Masjid al-Aqsa di Palestina (isra`) dan naiknya beliau ke langit (mi’raj) dalam rangka menerima risalah shalat lima waktu yang dilaksanakan umat Islam saat ini.

Kesemarakan dalam memperingati Isra’ dan Mi’raj terserbut sepertinya melupakan kontroversi perihal bagaimana Nabi Muhammad melakukannya; apakah dengan jasad atau hanya ruhnya saja? Memang persoalan ini tidak banyak diungkap secara lugas dan jelas. Biasanya para penceramah hanya menyinggung persoalan apakah perjalanan dengan jasad atau ruh itu sambil lalu. Itupun biasanya hanya merupakan penegasan bahwa perjalanan itu dengan jasad. Dalam arti, Nabi Muhammad -ketika melakukan isra’ dan mi’raj- benar-benar melakukannya dengan jasad (badan), karena hanya dengan itu, kedua peristiwa tersebut mempunyai makna yang luar biasa bagi orang yang beriman. Berbeda dengan jika hanya dipahami dengan ruh saja di mana nilainya tidak lebih dari sebuah mimpi.

Di kalangan ulama tafsir sendiri terjadi silang pendapat perihal itu yang disebabkan perbedaan cara pandangan terhadap kata, bi `abdihi dalam surah al-Isra` ayat 1. Ulama yang mendukung perjalanan dengan jasad (badan) berpendapat bahwa kata `abd (hamba) tidak bisa ditafsirkan dengan lain selain dengan sesuatu yang terdiri dari badan dan ruh. Oleh sebab itu, bagi penganut faham ini, penafsiran kata ‘abd dengan menambah ruh secara tersirat di depannya, bertentangan dengan sifat i`jaz (sifat keluarbiasaan) yang ingin ditunjukkan Allah melalui momentum itu. Dan, menurutnya, jika perjalanan hanya dengan ruh saja, tentunya kafir Quraisy tidak melakukan penentangan yang luar biasa, karena bagi mereka hal itu merupakan suatu yang mustahil.

Sedangkan bagi golongan yang mengatakan dengan ruh saja (bi ruh ‘abdihi) tidak mungkin perjalanan itu dilakukan dengan jasad, karena ketidakmungkinan tadi. Dan mengenai anggapan pihak pertama yang mengatakan jika itu dilakukan dengan ruh akan mengurangi sifat i`jaz bukan suatu yang sangat mendasar, karena persoalan utamanya adalah iman kepada ajaran yang dibawa Nabi. Jadi persoalan utamanya adalah iman kepada apa yang dibawa Nabi bukan masalah bagaimana kedua momentum itu terlaksana. Sebab al-Quran tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai hal itu. Prof. Ahmad Baiquni, MSc., PhD (alm) sependapat dengan aliran kedua itu dan dalam hal ini sepertinya ia terinspirasi oleh buku Near-Dath Eexperience (Hidup Sesudah Mati) yang menceritakan perihal pengalaman orang-orang yang pernah mengalami mati suri.

Terlepas dari persoalan kontroversi perihal bagaimana Nabi ber-Isra’ dan ber-Mi`raj, yang jelas hal itu bukan merupakan persoalan yang sangat esensial, karena refleksi persoalan sesungguhnya dalam kedua momen besar itu adalah perintah untuk menjalankan shalat. Semestinya, setiap kali umat Islam merayakan kedua peristiwa besar itu, mengevaluasi apakah shalat-shalat sebelumnya telah memenuhi tuntutan Nabi Muhammad.

b. Sebagai Evaluasi

Pada masa sekarang, fenomena keagamaan memang semarak yang ditandai dengan antusiasme masyarakat dalam mengikuti acara-acara yang berkaitan dengan agama, mulai dari tahajud bersama, zikir bersama, dan lainnya. Hanya saja, pada saat fenomena keagamaan itu meningkat, ada fenomena lain yang tidak kalah semaraknya, seperti semaraknya perjudian dan bentuk-bentuk kemasiatan lainnya. Semestinya, ketika fenomena keagamaan tersebut menggeliat menurunkan fenomena kemaksiatan tersebut. Dan, sesuai dengan fakta bahwa Indonesia dihuni oleh umat Islam sebagai penduduk mayoritas, pelaku-pelaku kemaksiatan tersebut mayoritasnya sudah pasti orang Islam juga. Adakah fenomena itu sejalan dengan keyakinan masyarakat saat ini bahwa manusia berkualitas saleh maka setan penggodanyapun akan setara dengannya, sehingga manakala fenomena keagamaan meningkat tandingannyapun akan semakin meningkat juga.

Memperhatikan hal itu, apakah karena pengaruh sekularisme atau karena kedangkalan pemahaman agama, saat ini sepertinya sudah berkembang opini bahwa agama hanya berkaitan dengan ibadah (shalat, haji, zakat, puasa, dan lainnya) sedangkan di luar itu merupakan persoalan duniawi yang tidak ada kaitannya dengan agama. Opini tersebut jika tidak mendapatkan perhatian serius akan semakin memarjinalkan peran agama dalam lingkup rumah ibadah saja. Padahal, selaku umat Islam semestinya menghayati, firman Allah, “Sesungguhnya shalat (bisa) mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS, Al Ankabut [29]: 45). Akan tetapi, jika seseorang sudah rajin shalat, namun tidak bisa menghindarkan diri dari perbuatan keji dan mungkar, perlu dipertanyakan bagaimana ia melakukannya.

Dalam rangka memberikan pemahaman yang benar mengenai bagaimana shalat semestinya dilakukan oleh setiap muslim, ulama memberikan distingsi antara pengertian ada’ atau ta’diyah dan pengetian iqamah yang dalam bahasa Indonesia masing-masing berarti menunaikan dan mendirikan. Kenapa persoalan pemilihan kosa kata Arab tersebut menjadi perhatian ulama dalam rangka memberikan pemahaman yang benar, karena secara filosofis kedua kata tersebut mempunyai implikasi berbeda. Kata ada’ dan ta`diyah lebih banyak berorientasi kepada aspek formal saja, sedangkan iqamah selain menekankan pelaksanaan aspek formal yang benar, aspek isoteris dalam shalat mesti mendapatkan perhatian yang serius dari seorang mushalli agar shalat yang dilakukannya benar-benar memberikan pencerahan kepada pelakunya sehingga tujuan dari shalat sebagaimana disebut dalam surah Al Ankabut : 45 tersebut benar-benar bisa terwujud. Oleh sebab itu, berkaitan dengan pemenuhan kewajiban shalat di samping nas mereferensi penggunaan kata iqamah ulama juga menggunakan kosa kata serupa dalam penjelasan mereka agar umat Islam dalam melakukan rukun Islam ke-dua itu tidak semata-mata memenuhi kewajiban, tapi sebagai kebutuhan untuk pencerahan jiwa. Bukankah Allah telah berfirman, Hanya dengan berzikir hati menjadi tenang? Dan, shalat sebagai bentuk zikir tertinggi semestinya berdampak kepada hal itu. Dalam rangka menuju kepada maksud tersebut. Mahmud Muhammad Thaha, setelah mengutip hadis Nabi yang maksudnya bahwa shalat bisa mendatangkan ketenangan jiwa dan membuka mata hati pelakunya, mengatakan, Maknailah shalatmu!

Menurut Mahmud Muhammad Thaha, dalam kitabnya Risalah al-Shalah (Terjemahan LKIS: Shalat Perdamaian), shalat merupakan sebuah metode jika dilakukan secara berulang-berulang, akan dapat melihat ke dalam diri, bertemu dengan jiwa kita sendiri, hidup berdampingan dengannya, mengenali, dan mewujudkan perdamaian dengannya. Hal itu, karena kita hidup berdampingan dengan alam lahir tenggelam dalam angan-angan indera kita, terlena dengan itu semua sehingga melupakan hakekat yang terpusat di balik yang ditutupinya. Allah menjadikan alam lahir sebagai petunjuk bagi hakekat tersebut, bukan sebagai penggantinya. Oleh sebab itu, umat Islam wajib memperhatikan sarana itu, agar tetap terjaga guna mengingat Allah. Bukankah Nabi pernah bersabda, Manusia itu tidur, apabila mati, barulah mereka terjaga? Untuk menjaga manusia agar senantiasa terjaga dari lupa dan kesalahan adalah dengan mengingat Allah, dan shalat merupakan salah satu metode sekaligus yang utama untuk itu. Berkaitan dengan itu, menurutnya sangat penting bagi umat Islam untuk mencapai tingkatan shalat seorang muslim, bukan hanya sampai tingkatan shalat seorang mukmin. Apa perbedaan di antara shalat kedua golongan itu? Memperhatikan penjelasannya dalan bukunya, terlepas dari maksud khususnya yang diinginkannya dari pemberian istilah mukmin dan muslim, apa yang dimaksud dengan shalat seorang mukmin adalah orang-orang yang melakukan shalat sekedar memenuhi kewajiban semata, sedangkan yang dimaksud seorang muslim adalah orang-orang ketika mendirikan shalat memenuhi kriteria ihsan, yaitu mereka ketika beribadah seakan melihat Allah, meskipun ia tidak melihat-Nya, tapi yakin bahwa Allah melihat mereka. Dengan kata lain, dalam pandangan Mahmud Muhammad Thaha, shalat mukmin baru sampai taraf ada’ atau ta’diyah sedangkan shalat muslim adalah sudah sampai kepada taraf iqamah. Jenis shalat yang terakhir itulah -menurutnya- yang akan memberikan pencerahan kepada pelakunya seperti yang disebut dalam surah Al Ankabut : 45 tersebut.

Oleh sebab itu, kesemarakan peringatan Isra’-Mi’raj pada bulan Rajab ini, semestinya dijadikan evaluasi bagi setiap muslim dalam melaksanakan perintah shalat. Sehingga refleksi peringatan momen ini adalah Apakah shalat yang dilakukan itu berdampak kepada ketenangan jiwa dan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Jika hal itu tidak dilakukan, kesemarakan peringatan Isra’-Mi’raj hanya akan melahirkan budaya konsumtif dan menguntungkan sedikit peceramah saja. Sedangkan shalat sebagai media pencerahan jiwa diabaikan.

Dalam kesempatan kali ini marilah kita sama-sama memperingati peristiwa Isra’ dan Mi’raj dengan cara mengevaluasi ibadah kita terutama sholat kita.

1. “Sholat itu Mi’raj nya Orang Mu’min dan Muslim”

Nabi Muhammad sebagai Nabi telah disucikan semua jiwa dan raganya sebelum beliau di Isra’ Mi’raj kan bertemu Allah Swt. Dan beliau adalah seorang Ma’sum yang selalu menjauhkan dirinya dari Dosa, sangat Wajar beliau menjadi Kekasih Alloh sehingga ketika beliau bersedih ketika harus menghadapi takdir ditinggalkan orang orang yang dikasihinya yaitu Paman dan Isteri Beliau yang selama ini mensupport perjuangannya. Lalu bandingkan dengan kita yang setiap harinya, setiap jamnya, setiap menitnya, bahkan setiap detiknya selalu digelincirkan oleh dosa. Bisakah kita Mi’raj bertemu Allah melalui Sholat kita sementara Allah itu Maha Bersih dan Suci ?

2. “ Mi’raj itu tercapai lewat Khusyu’”

Qad aflahal mu’minuun, alladziina hum fii shalaatihim khasyi’uun.

Sungguh beruntung orang-orang beriman, yang di dalam shalatnya dilakukan dengan rasa khusyu’. (QS Al Mukminun [23]:1-2).

Bagaimana bisa mencapai Mi’raj bertemu Allah kalau kita tidak pernah merasakan khusyu’ dalam sholat kita? bahkan jujur kita sebagian besar dari kita mengerjakan sholat untuk menggurukan kewajiban kita, sebagian lagi terpaksa…Astaghfirulloh…

Innal munaafiqiiina yukhadi’uunallaaha wa huwa khaadi’uhum, idzaa qaamuu ilash shalaati qaamuu kusaalaa yuraauunan naasa wa la yadzkuruunallaaha illaa qaliilaa.

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah juga akan membalas atas tipuannya tersebut. Mereka itu apabila melaksanakan shalat dilakukan dengan perasaan malas, dan mereka tidak serius di dalam mengingat Allah kecuali hanya sedikit saja. (QS An Nisaa’ [4]:142)

3. Sudah berapa besar Usaha kita untuk mencapai Khusyu’ dalam Sholat ?

Sudahkah kita berusaha dengan keras dan mencari ilmu untuk mencapai khusyu’ dalam sholat kita? semua tercapainya tujuan itu dibarengi oleh kerja keras dan kemauan untuk mencapainya. Begitu juga tujuan sholat kita itu adalah khusyu’ menghadirkan perasaan berhadapan dengan Allah sang Pencipta.

Sebenarnya banyak cara jika kita mau salah satunya yaitu berguru kepada ‘alim ulama yang sudah teruji ilmu dan amalannya, tapi sebagian dari kita berpikiran gengsi atau malu. Dan celakanya lagi kita itu tidak tahu ilmu tapi tidak pernah mencari jalan ilmu itu sendiri. Bahkan seringkali mengejek orang-orang disekitar kita yang mencari jalan untuk khusyu’ Astaghfirulloh…

Marilah kita semua mulai detik ini menjaga sholat kita sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Alloh dan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang telah menjalankan Isra’ mi’raj.

c. Sebagai Proyeksi

Beberapa hal penting yang perlu kita cermati dalam memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj ini, diantaranya adalah bagaimana perhatian kita terhadap Islam sekecil apapun seperti tarikh Islam yang bisa dijadikan sebagai pedoman umat Islam. Sejarah yang luar biasa ini perlu dipertahankan. Tidak hanya itu, mempertahankan momen ini dilakukan dengan selalu mengingat, kemudian mengamalkan ibroh dari peringatan tersebut.

Umat Islam perlu lebih memperhatikan kandungan yang terdapat dalam perintah shalat lima waktu tersebut sehingga ke depan, shalat tidak hanya sebagai sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan tetapi juga sebagai bentuk kebutuhan kita terhadap Allah Swt. oleh karena itu, semakin banyak kita memperingati momentum ini maka seharusnya semakin baik pula kualitas shalat kita. Tepat waktu, berjamaah, khusyuk, dan lain sebagainya sebagaimana yang pernah disampaikan oleh para muballigh.

Oleh karena itu pula, identitas kita sebagai umat Islam tidak hanya sebatas KTP, namun direalisasikan dalam bentuk pengamalan ibadah utama yakni shalat, karena yang membedakan orang Islam dan bukan orang Islam adalah shalat. Dalam arti bahwa, orang Islam adalah orang yang mendirikan shalat. Sedangkan orang yang bukan Islam merekalah yang tidak mendirikan shalat. Wallahu A’lam.

(Disarikan dari beberapa sumber oleh Zidni Darissalam, Mahasiswa STAIN Pekalongan).

0 comments:

Post a Comment