Tuesday, February 24, 2009

Grand Canyon, Makhluk Indah di Arizona



Sebuah perjalanan yang menyenangkan, 20 Februari 2009, dari Tucson ke National Park Grand Canyon, Arizona. Bersama 20 orang Arizonian dan seorang Administrator CESL, kami berangkat ke tempat wisata tersebut pagi jam 7.30 am. Sebuah impian yang telah diimpikan semenjak berangkat ke Arizona. Jurang, pegunungan, dan tentunya adalah salju.

Tak seorang pun yang tak tersenyum kala itu. Semua merasa bahagia karena keinginan mereka untuk melihat secara langsung, menyentuh, dan mungkin saja memakan atau meminum salju. Wonderful! Untuk pertama kalinya kami melihat sisa-sisa salju di pegunungan. Kami berteriak histeris bersyukur Alhamdulillah, impian kami dikabulkan. Selanjutnya, sesaat shuttle yang kami tumpangi memerlukan bahan bakar, akhirnya kami berhenti di sebuah pom bensin yang disitu banyak sekali sisa-sisa salju putih yang mengundang kami untuk menghampiri mereka.

Tak berpikir panjang, kami langsung turun dan langsung menghampiri makhluk Allah yang sungguh indah itu. Sebuah es lembut. Subhanallah. Sekitar sepuluh menit, kami mengambil banyak gambar kami bersama salju. Berbagai pose, tiduran, berdiri, duduk, dan sebagainya.

Kami melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan, salju menyambut kami di tepi jalan. Begitu banyak. Samping kanan, tak lepas dari sambutan es lembut tersebut. Samping kiri pun tidak mau ketinggalan. Pegunungan yang sangat indah dengan dilapisi salju putih. Jurang-jurang yang sangat dalam. Tebing-tebing yang tinggi. Pepohonan yang berdiri tegak menyapa kami. Kaktus-kaktus yang melambaikan daunnya bak seraya menyapa kedatangan kami.

Sungguh tak bisa terhiaskan dalam kata-kata yang mampu menyaingi keindahan alam itu. Sebuah makhluk Allah yang harus kita jadikan sebagai sarana untuk menuju Allah. Ciptaan Allah yang diperlihatkan kepada kita sekiranya bisa menjadi alat untuk merenungi kembali keagungan Allah Azza Wa Jalla. Allah begitu indah, Dia menyukai hal-hal yang indah.

Sebagaimana sebuah hadis (maaf, penulis lupa riwayatnya),

“Tafakkaruu fi kholqillah, Wala tafakkaru fi dzatillah”

Berpikirlah tentang Allah dari apa yang telah Ia ciptakan (makhluk), janganlah berpikir tentang Allah dari dzat-Nya.

Begitulah sebuah petunjuk untuk mendekat kepada Allah SWT. Setelah kita mendapatkan anugerah yang insya Allah tidak terlupakan, bertemu langsung dengan makhluk Allah, serangkaian jurang-jurang indah yang dilapisi dengan sucinya putih salju, insya Allah kita lebih dapat mendapatkan petunjuk untuk mendekat kepada Allah SWT.

Sebagai salah satu dari banyaknya makhluk Allah, kita patut bersyukur atas nikmat yang Allah berikan kepada kita. Melalui serangkaian makhluk Allah, kita dituntut untuk memikirkan siapakah Tuhan kita, siapakah Allah yang selalu kita sembah. Kita bisa mencari tahu siapa dan betapa indahnya Allah bukan langsung dari dzat-dzat Allah. Kita bisa gunakan makhluk Allah sebagai wasilah untuk mencari Allah. Dengan makhluk Allah, kita akan tahu keagungan-Nya, Maha Rohman Rahimnya, Maha Perkasa-Nya, Maha Agung, Maha Segalanya.

Semakin kita tahu akan siapakah Allah itu, maka kita akan semakin dekat kepada Allah, semakin takut, semakin takwa, semakin yakin akan Allah. Untuk itu, kita akan semakin berada di thariqah-Nya. Semoga Allah selalu membuka pintu hidayah-Nya untuk kita agar selalu berada dalam lindungan-Nya.

Zidni

Arizona 2/24/09


Read More......

Friday, February 06, 2009

Diskusi Bersama Atheis


Berawal dari sebuah ajakan untuk mengikuti sebuah jaringan pertemanan di internet, saya mendapat beberapa pertanyaan tentang Islam dari seorang teman. Pertanyaan-pertanyaan yang saya kira cukup sulit dan menguji ke-eksis-an saya dalam agama saya. Sesi “ngobrol” yang sangat menyenangkan tapi menegangkan serta perlu sebuah kehati-hatian dalam menjawab agar saling menghormati satu sama lain.

Awalnya, saya mengajak teman sekelas saya dari sebuah negara non muslim untuk bergabung dalam jaringan pertemanan yang ada di internet. Dia sangat tertarik dengan ajakan ini, akhirnya ia bergabung dan mengobrol melalui media internet tersebut.

Di awal percakapan, kami hanya saling menanyakan tentang kabar, sedang apa dan lain-lain. Di tengah percakapan, dia menanyakan sebuah pertanyaan yang menyangkut Islam. Dia bertanya kepada saya mengapa saya tidak memakai kerudung. Saya sangat terkejut dengan pertanyaan itu. Saya berpikir bahwa orang ini mungkin bercanda. Mungkin karena sering melihat orang Islam memakai kerudung khususnya para wanita muslim dan akhirnya dia bercanda kalau saya tidak memakai kerudung.

Setelah bertanya, ia jujur bahwa ia tidak bercanda. Ternyata pertanyaan itu bukan sebuah canda, tetapi ia memang ingin menemukan jawaban atas pertanyaan yang ada di dalam benaknya selama ini. Sebenarnya saya agak geli mendengar pertanyaan ini, namun saya mencoba untuk menjawab dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan siapapun.

Saya pun menjawab bahwa saya laki-laki, bukan perempuan. Kerudung hanya untuk wanita muslimah. Untuk laki-laki tidak perlu memakai kerudung, karena tidak diperintahkan. Ia pun mengerti, tetapi muncul statement yang membuat saya cukup. Ia berkata bahwa ia tidak beragama sebagaimana agama orang-orang pada umumnya. Ia hanya percaya pada dirinya sendiri. Ia juga mengatakan bahwa ia tidak menyalakan agama dan tidak menganggap agama itu sebuah hal yang buruk.

Ia menghormati segala agama, tetapi ia masih tetap pada pendiriannya bahwa ia hanya lebih percaya pada dirinya. Ia juga memberikan statement bahwa bila kita tidak beragama, maka kita bias melakukan sesuatu semau kita dan bebas untuk beraksi dalam hidupnya. Saya pun tidak serta merta menyalahkan dia, tetapi saya berusaha untuk menghormati dia. Saya tidak membeberkan tentang Islam –sebenarnya saya juga kurang begitu luas pemahaman tentang Islam- terlebih dahulu. Saya hanya menampilkan rasa hormat kepada setiap orang atas kepercayaan mereka termasuk dia.

Setelah berbicara seperti itu, ia juga mengatakan bahwa bila kita memiliki agama maka kita akan lelah untuk beribadah setiap harinya. Kembali saya memberikan apresiasi dengan memberikan rasa hormat kepadanya atas kepercayaannya. Namun, di samping itu saya juga mengatakan bahwa saya sangat menikmati hidup saya dengan agama saya. Saya juga menyukai ibadah.

Tidak lupa kami selalu mengatakan bahwa kita hanya sekedar sharing saja. Bukan saling mempelajari. Makanya dalam percakapan kami tadi tidak saling menjatuhkan dalam hal diskusi itu.

Percakapan berlanjut hingga larut malam. Dia kembali menanyakan tentang apakah semua orang indonesia itu beragama. Kemudian saya menjawabnya dengan sebisa mungkin bahwa saya tidak dapat memastikan apakah semua orang Indonesia memiliki agama. Saya mengatakan lagi bahwa agama merupakan privasi seseorang, dan kadang-kadang orang lain mengetahui apakah ia beragama atau tidak. Hanya saja bisa dilihat dari segi tingkah laku kesehariannya. Saya perjelas lagi bahwa setahu saya Indonesia memiliki enam agama yang diakui oleh negara, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu.

Setelah diperjelas seperti itu ia ingin bertanya lagi apakah setiap orang itu memakai kerudung. Saya agak tertawa setelah mendengar pertanyaan tersebut. saya pun menjawab bahwa tidak semua orang memakai kerudung. Itu hanya untuk wanita saja, khususnya untuk wanita muslim. Jadi setiap wanita muslim yang berkerudung adalah wanita muslim.

Dia menjadi agak bingung setelah mendengar penjelasan dari saya. Ia pun melontarkan satu silogisme yang menjadikan saya agak terkejut. Ia menyimpulkan bahwa bila wanita yang tidak memakai kerudung berarti tidak beragama. Selanjutnya saya jelaskan kembali bahwa kita semua tahu jika setiap orang itu memiliki privasi. Privasi tersebut misalnya adalah agama. Tetapi tidak setiap orang memiliki kepatuhan yang sama. Mereka memiliki tingkat ketaatan kepada Tuhannya yang berbeda. Jadi meskipun seseorang beragama, bisa saja mereka tidak mematuhi ajaran agama.

Ia sedikit terpecahkan masalahnya selama ini, bahwa ia mengira bahwa orang yang beragama selalu patuh. Tetapi melihat orang-orang, misalnya muslim, mereka tidak seperti apa yang biasa dilakukan oleh orang agama. Konkritnya, misalnya orang beragama sholat tetapi tidak sholat, puasa, dan lain-lain termasuk berkerudung bagi wanita muslimah.

Saya tidak mendoktrin bahwa mereka yang tidak melaksanakan a jaran agama itu bukan serta merta keluar dari ajaran Islam, melainkan hanya ketidakpatuhan saja terhadap agama Islam. Dari perngalaman itu, saya memiliki kesan yang cukup unik. Yakni ketika saya mengamati seorang yang tidak meyakini agama sebagai pedoman hidupnya, mau melakukan diskusi kepada orang yang beragama sebagai pedoman hidupnya. Dan juga saya bisa mendapatkan sebuah analisa bahwa ketika seseorang yang tidak menganggap agama sebagai pedoman hidupnya mau untuk mencari informasi tentang keagamaan, sedangkan mereka yang beragama sejak lahir kurang dalam mencari ilmu dalam agama mereka.

Kesan saya ini tidak begitu penting, tetapi saya jadikan sebagai pengalaman yang dapat menjadikan diri saya untuk lebih mendalami ajaran agama. Karena bila tidak mempelajarinya secara menyeluruh maka ia akan rugi karena ia telah mendapatkan pedoman hidup namun tidak mau menggunakannya dengan baik.

Semoga bermanfaat.

Arizona, 02/06/2009


Read More......